Catatan Kaki Jodhi Yudono
Kisah ini bermula dari peristiwa Pemilu dan mengerucut pada Pilpres
2014. Kawan-kawan Juha yang manis, kawan-kawan Juha yang hangat,
akhirnya terbelah menjadi dua. Sebagian mendukung Prabowo, sebagian
lainnya mendukung Joko Widodo.
Semula Juha senang-senang saja ketika melihat kawan-kawannya yang
berada di dua kubu itu saling sindir dan ejek. Juha pikir, hal itu
bagian dari demokrasi, bagian dari ekspresi dukungan. Kedua kubu kadang
menggunakan kata-kata atau gambar-gambar lucu. Tapi lama kelamaan,
sindir menyindir dua kubu kian tajam dan sengit. Hingga sampai akhirnya
Juha terhenyak saat mendapatkan kedua kubu itu ternyata tak sedang
merayakan demokrasi, melainkan sedang perang antar saudara sendiri.
Kedua kubu sudah saling melempar kata-kata kotor dan fitnah yang
menjurus pada kekejaman yang jauh dari akal waras.
Juha juga mendengar, banyak kisah yang tak masuk akal yang terjadi
sepanjang Pilpres. Sepasang kekasih berpisah karena keduanya memiliki
pilihan berbeda. Hubungan anak dan orang tua menjadi renggang, dan tak
terhitung jumlahnya mereka yang semula berkawan kemudian saling
bermusuhan.
Hari demi hari ketegangan terus terjadi. Padahal Pemilu sudah lama
berlalu, Pilpres juga sudah beres, wakil rakyat dan presiden sudah
terpilih, tapi mengapa kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri dan
orang lain yang kebetulan berbeda pilihan saat Pemilu dan Pilpres?
Inilah fakta yang kita jumpai pada kehidupan sehari-hari melalui
media sosial. Status-status yang ditulis, komentar-komentar yang
diwedar, masih banyak yang bernada musuhan. Inilah yang membuat hati
Juha nelangsa, mengapakah kawan-kawan baiknya kini masih saja saling
mengibarkan bendera kebencian.
Kepada saya Juha berkata, padahal kawan-kawannya itu dari golongan orang-orang yang mapan dan dari kalangan intelektual pula.
"Bagaimana bisa mereka memelihara kebencian sedemikian lama, padahal
hajatan Pemilu dan Pilpres sudah usai," kata Juha sambil nggersah.
"Mungkin begitu besarnya cinta kawan-kawanmu itu terhadap idolanya," saya menjawab sekenananya.
Juha melotot seraya bicara panjang lebar. Katanya, bukankah idola
mereka yang semula berseberangan kini sudah saling berjabat tangan?
Bukankah idola mereka juga sudah saling mendukung dan saling
menghormati? Apa lagi sebeenarnya yang masih dipersoalkan?
"Mungkin mereka masih kecewa, sehingga unek-unek mereka belum tuntas," kata saya.
"Mau sampai kapan?" tanya Juha.
"Ya sampai tuntas."
"Kapan?"
"Mungkin besok setelah susunan kabinet diumumkan, semuanya sudah usai. Mungkin minggu depan, mungkin..."
"Mungkin tahun depan, mungkin sampai pemilu mendatang... Wah..."
Juha pun menyesalkan, mengapa kawan-kawannya yang saling
berseberangan tak segera menyudahi ejekan, hujatan, kebencian kepada
yang bukan idolanya? Padahal setahu Juha, kawan-kawannya itu juga dari
golongan orang-orang yang soleh, orang-orang baik yang penuh kasih
sayang.
Demi apa sebenarnya mereka menebarkan kebencian dan cacian jika
mereka sendiri sebetulnya tak mendapatkan apa-apa dari perbuatannya?
Adakah mereka akan mendapatkan kekuasaan? Harta? Atau lainnya? Tidak
bukan? Bahkan tahukah mereka, di antara kawan-kawan mereka yang tak
menyukai keributan justru menjauhi mereka.
"Ya... itu hak mereka untuk berekspresi," saya menimpali.
"Iya
saya tahu. Ini semua saya lakukan karena saya menyayangi mereka. Saya
ingin kita balik seperti dulu lagi sebelum Pilpres berlangsung, sebelum
mereka terbelah menjadi dua. Saya ingin kita bersatu lagi. Jangan
seperti sekarang..."
"Memang sekarang masih saling ejek gitu?"
"Jangan pura-pura nggak tahu, lihat saja contoh di bawah ini..."
Juha pun memberi contoh sebuah status didinding Facebook seorang kawan yang menulis begini:
"Dalam dunia horoskop perbinatangan, binatang sering dijadikan
simbolisasi karakter dan watak manusia. Bahkan ada yang bilang bahwa
binatang peliharaan akan mencerminkan pula simbolisasi karakter dan
watak si empunya.
Saya tidak tahu soal kebenarannya, tapi mungkin
ada benarnya. Orang penyuka kuda pasti karakter dan wataknya beda
dengan penyuka kodok... Begitu sebaliknya, orang penyuka kodok pasti
karakter dan wataknya beda dengan penyuka kuda.
Begitu halnya dengan
seorang pemimpin penyuka kuda dan penyuka kodok pasti karakter, watak
dan gaya kepemimpiannya juga beda. Suka dipimpin KESATRIA BERKUDA atau
KESATRIA BERKODOK...???"
Lalu dibalas oleh kawan di seberang sana begini:
"KODOK -- biar pun kodok sering direndahkan sebagai binatang buruk
muka dan diremehkan karena dianggap tiada guna, ia adalah makhluk
ciptaan Allah penguasa langit dan bumi. Tak seorang pun mampu
menciptakan kodok sebagaimana kodok hidup dan bernapas, bersuara berat,
buruk dan kadang menyeramkan. Bahkan manusia yang merasa paling nyekolah
di dunia, pintar tiada kepalang, ganteng atau cantik tiada banding,
takkan mampu hanya sekadar membuat selaput di jemarinya yang berfungsi
sebagai dayung saat berenang. Kodok memang sering dianggap binatang
rendah, kalah jauh dibanding kuda yang kerap disebut binatang gagah
perkasa, banyak manfaat, dan setia. Jelas, hanya idiot saja yang memaksa
membandingkan keperkasaan kuda dengan kelemahan kodok secara terbuka.
Kodok dan kuda memang beda dalam banyak hal, tak perlu dibandingkan.
Satu hal yang membuatnya sama, keduanya sama-sama makhluk ciptaan Allah.
Menghina dan merendahkan kodok, sama saja menghina dan merendahkan-Nya,
kecuali bagi seorang idiot."
"Status di atas hanya contoh kecil.Seperti kau tahu, media sosial
adalah belantara yang tak terkira luasnya. Di dalamnya tak cuma berisi
keindahan ucapan, tapi juga kebuasan kata-kata," simpul Juha.
"Terus saya harus bagaimana?" kata saya mencoba melucu.
"Kamu ke laut aja!" Juha mencibir.
"Asyik dong, bisa berenang dan jalan-jalan di pantai.
"Dasar cumi!"
"Dasar ubur-ubur!"
"Stop! Kita mengimbau supaya kawan-kawan berkata baik, sementara kita malah saling ejek."
"Cuma becanda."
"Kawan-kawan itu awalnya juga cuma becanda, lama-lama keterusan."
"Terus aku harus bagaimana?"
"Harus tahu batas."
"Maksud lo?"
"Kalau
sudah selesai perbincangan, ya selesai juga urusan. Kalau Pilpres sudah
selesai, selesai pula urusan kita dengan jagoan-jagoan kita. Kita
sudahi semua ejekan, semua konflik, kita bersalaman dan saling bersenda
gurau kembali."
"Setuju."
"Setuju apa?"
"Setuju untuk bersendau gurau kembali, ngopi bersama lagi, bersilaturahmi kembali..."
"Pinter."
"Kamu juga cerdas."
Akhirnya kami pun bersalaman. Tersenyum dan bersulang bersama untuk kebaikan kawan-kawan semua, kebaikan negeri ini. Cheers...!
@JodhiY
nasional.kompas.com
Post a Comment